*Judul ini gw ambil dari artikel yang ada di The Urban Mama yang ditulis oleh mba
Jihan Davincka (permisi repost ya mba jihan *salim tangan mba jihan)
Setelah baca artikel "Because One Day Mommy, I Won’t Be This Small" dada gw tiba2 mendadak sesak, air mata gw entah kenapa langsung sukses ngalir gitu aja ga bisa ditahan lagi,,,
ya Allah bener2 langsung merasa ketapar bgt gw, selama ini bisa dibilang gw sangat kurang mempunyai stock sabar sama keanu, kadang gw itu merasa bener2 capek klo harus ngejagain keanu, kadang gw berfikir ngejagain keanu itu jauh lebih cape daripada kerja dikantor.. emang ga bisa dipungkirin sih seumuran keanu ini lagi di tahap super aktif, diemnya itu ya klo pas tidur aja, klo lagi ga tidur yaampun cape bgt kejar2 dia, tapi ya memang begitulah tingkah anak2 yang harus dihadapi dengan stock kesabaran yang tinggi oleh seorang ibu.
Jadi gw harus berusaha bersikap sabar dan menikmati semua masa2 ini, karena masa2 ini ga akan pernah kembali lagi, masa2 gw ngejar2 keanu,masa2 dimana keanu masih gampang untuk di cium dan dimintain untuk mencium gw, masa2 dimana keanu masih mau digandeng saat2 kita lagi jalan2, masa2 keanu masih jelas memperlihatkan sikap dia klo dia masih sangat membutuhkan dan berketergantungan sama gw, saat2 keanu masih kolokan dan manja sama gw, dan saat2 indah yang ga bakal bisa terulang kembali,,, ya karena waktu akan terus maju dan ga akan mundur lagi, coba kita lihat beberapa tahun kedepan, misalnya disaat2 dia udah beranjak ABG pasti jalan2 ke Mall udah ga mau digandeng, bakal susah lagi klo gw mau cium2 dia sampe puas, bakal ga ada lagi sikap manja... aggghhhhh gw mau keanu yang kaya sekarang aja,,,, :)) :D
***
berikut beberapa paragraf yang ada di artiket TUM yang ditulis mba jihan.....
"Saya pernah membaca sebuah kisah populer via internet mengenai dialog
seorang anak dengan Tuhan sebelum dilahirkan ke dunia. Sang anak
mengungkapkan kegundahannya atas semua hal-hal yang akan dihadapi di
dunia barunya nanti. Tuhan menjawab dengan sabar semua pertanyaan si
anak dengan, “Tenang saja. Sudah kusiapkan seorang malaikat di dunia
untukmu. Seseorang yang akan kau panggil… Ibu.”
Menurut cerita itu, Ibu adalah malaikat untuk anak-anaknya. Betulkah?
Di sebuah seminar parenting yang pernah saya hadiri
(pesertanya sebagian besar ibu-ibu), fasilitator bertanya kepada kami,
“Ibu-ibu, anak itu banyak meminta atau banyak memberi?”
Tanpa dikomando, jawaban kompak kami bergema di seluruh ruangan, “Meminta…”
Tiga kali fasilitator bertanya dan kami tetap bersikeras pada jawaban
kami, anak-anak lebih banyak meminta. Kami diminta mengeluarkan hp,
masuk ke folder foto, memilih foto anak kami, dan memandanginya
lama-lama. Sejenak, seisi ruangan hening. Fasilitator mulai bersuara
lagi, “Bayangkan kalau wajah yang Anda pandangi di foto itu sedang
sakit. Sakitnya parah. Sampai Anda harus melarikannya ke rumah sakit.
Ternyata, takdir tak berpihak pada kita. Anak anda dinyatakan…”
Belum selesai ucapannya, suasana hening buyar dengan tangisan Ibu-ibu peserta tadi.
Ah, kita semua terkecoh. Bukan kita malaikatnya. Merekalah
malaikat-malaikat kecil yang dihadirkan di dunia untuk membawa
kebahagiaan untuk orang-orang di sekitarnya. Jangankan membayangkan bila
Tuhan mengambil kembali titipan terindahnya ini, melihat mereka sakit
saja, nyawa rasanya sudah hilang separuh.
Kalaupun ternyata kita yang harus pergi lebih dahulu, mereka bisa
dirawat oleh siapa saja. Perlahan, apalagi jika usianya masih sangat
kecil, mereka mungkin sanggup menghapus bayangan ibunya. Tapi bila
dibalik, Ibu mana yang sanggup membayangkan ketiadaan anak-anaknya?
Sejak dua buah garis muncul di selembar testpack saja, kebahagiaan seorang (calon) Ibu sudah sedemikian membuncah-buncah.
Lagi-lagi kita terkecoh. Anak-anak tak pernah meminta dilahirkan.
Justru kehadirannya yang memberikan banyak sekali hal yang sebagian
besarnya berlabel “kebahagiaan.”
Waktu kecil mungkin mereka akan terlihat bagai monster mini. Apa-apa
minta ditemani. Apa-apa harus diajari. Makannya pun mesti dijaga.
Tapi saya ingat lagi cerita Ibu. Waktu Bapak sudah tidak ada, Ibu
kerepotan mencari teman untuk dibawa ke undangan karena waktunya
sebagian besar di malam hari. Waktu masih kecil-kecil, semuanya heboh
minta ikut. Begitu sudah ABG, sudah punya kesibukan sendiri.
Waktu masuk TK sudah ada yang tidak mau tangannya digandeng. Malu
pada guru dan teman-temannya. Yang tadinya tak bisa tidur kalau tidak
dipeluk sama Mama. Ke sekolah pun sudah minta jalan sendiri. Tak senang
lagi bila kepalanya diusap-usap, apalagi dipeluk dan dicium.
Ibu-ibu yang kerepotan dengan balita, bersabarlah.
Sebuah puisi kecil ini (disalin dari sebuah gambar via internet) mungkin bisa menjadi bahan renungan:
I won’t always cry ‘mommy’ when you leave the room,
and my supermarket tantrums will end too soon.
I won’t always wake, daddy, for cuddles through the night,
and one day you’ll miss having a chocolate face to wipe.
You won’t always wake to find my foot kicking you out of bed,
Or find me sideways on your pillow where you want to lay your head.
You won’t always have to carry me in asleep from the car,
Or piggy back me down the road when my legs can’t walk that far.
so cherish every cuddle, remember them all.
Saya pernah membaca sebuah kisah populer via internet mengenai dialog
seorang anak dengan Tuhan sebelum dilahirkan ke dunia. Sang anak
mengungkapkan kegundahannya atas semua hal-hal yang akan dihadapi di
dunia barunya nanti. Tuhan menjawab dengan sabar semua pertanyaan si
anak dengan, “Tenang saja. Sudah kusiapkan seorang malaikat di dunia
untukmu. Seseorang yang akan kau panggil… Ibu.”
Menurut cerita itu, Ibu adalah malaikat untuk anak-anaknya. Betulkah?
Di sebuah seminar parenting yang pernah saya hadiri
(pesertanya sebagian besar ibu-ibu), fasilitator bertanya kepada kami,
“Ibu-ibu, anak itu banyak meminta atau banyak memberi?”
Tanpa dikomando, jawaban kompak kami bergema di seluruh ruangan, “Meminta…”
Tiga kali fasilitator bertanya dan kami tetap bersikeras pada jawaban
kami, anak-anak lebih banyak meminta. Kami diminta mengeluarkan hp,
masuk ke folder foto, memilih foto anak kami, dan memandanginya
lama-lama. Sejenak, seisi ruangan hening. Fasilitator mulai bersuara
lagi, “Bayangkan kalau wajah yang Anda pandangi di foto itu sedang
sakit. Sakitnya parah. Sampai Anda harus melarikannya ke rumah sakit.
Ternyata, takdir tak berpihak pada kita. Anak anda dinyatakan…”
Belum selesai ucapannya, suasana hening buyar dengan tangisan Ibu-ibu peserta tadi.
Ah, kita semua terkecoh. Bukan kita malaikatnya. Merekalah
malaikat-malaikat kecil yang dihadirkan di dunia untuk membawa
kebahagiaan untuk orang-orang di sekitarnya. Jangankan membayangkan bila
Tuhan mengambil kembali titipan terindahnya ini, melihat mereka sakit
saja, nyawa rasanya sudah hilang separuh.
Kalaupun ternyata kita yang harus pergi lebih dahulu, mereka bisa
dirawat oleh siapa saja. Perlahan, apalagi jika usianya masih sangat
kecil, mereka mungkin sanggup menghapus bayangan ibunya. Tapi bila
dibalik, Ibu mana yang sanggup membayangkan ketiadaan anak-anaknya?
Sejak dua buah garis muncul di selembar testpack saja, kebahagiaan seorang (calon) Ibu sudah sedemikian membuncah-buncah.
Lagi-lagi kita terkecoh. Anak-anak tak pernah meminta dilahirkan.
Justru kehadirannya yang memberikan banyak sekali hal yang sebagian
besarnya berlabel “kebahagiaan.”
Waktu kecil mungkin mereka akan terlihat bagai monster mini. Apa-apa
minta ditemani. Apa-apa harus diajari. Makannya pun mesti dijaga.
Seperti saya, berjalan kaki ke mana-mana makin terasa repot karena ada
mereka dalam stroller.
Tapi saya ingat lagi cerita Ibu. Waktu Bapak sudah tidak ada, Ibu
kerepotan mencari teman untuk dibawa ke undangan karena waktunya
sebagian besar di malam hari. Waktu masih kecil-kecil, semuanya heboh
minta ikut. Begitu sudah ABG, sudah punya kesibukan sendiri.
Waktu masuk TK sudah ada yang tidak mau tangannya digandeng. Malu
pada guru dan teman-temannya. Yang tadinya tak bisa tidur kalau tidak
dipeluk sama Mama. Ke sekolah pun sudah minta jalan sendiri. Tak senang
lagi bila kepalanya diusap-usap, apalagi dipeluk dan dicium.
Ibu-ibu yang kerepotan dengan balita, bersabarlah.
Sebuah puisi kecil ini (disalin dari sebuah gambar via internet) mungkin bisa menjadi bahan renungan:
I won’t always cry ‘mommy’ when you leave the room,
and my supermarket tantrums will end too soon.
I won’t always wake, daddy, for cuddles through the night,
and one day you’ll miss having a chocolate face to wipe.
You won’t always wake to find my foot kicking you out of bed,
Or find me sideways on your pillow where you want to lay your head.
You won’t always have to carry me in asleep from the car,
Or piggy back me down the road when my legs can’t walk that far.
so cherish every cuddle, remember them all.
Because one day, mommy, I won’t be this small.
***
I don’t know who the author is, but I do love this poem.
We need to remember to love this stage of life, saat mereka masih kecil dan segala yang mereka lakukan seringnya terasa sebagai beban semata. As challenging as it may be, dont worry… because one day, they won’t be this small.
Takkan lama waktunya saat kita yang
terduduk memandangi foto-foto kecil mereka, berharap mereka akan berlari
ke pelukan kita setiap saat. Meminta waktu menerbangkan kita ke masa
lalu. Kembali ke masa kecil mereka.
***
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
gimana - gimana? dalam bgt kan isi artikelnya,,,, ngejlepin bgt,,, walaupun gw udah baca berulang2 tetep aja nih air mata pengen keluar,,,
Alhamdulilah gw ngenemuin artikel keren ini, bener2 membuka mata dan hati gw yang kemaren2 ini GA BGT,,,, sekarang ini gw sangat menikmati saat2 kebersamaan dengan keanu, bukannya kemaren2 ga menikmati, tp sekarang tuh berbeda, lebih iklas dan selalu menanamkan di hati dan pikiran gw klo waktu ga akan pernah kembali "Because one day, mommy, I won’t be this small." *langsung pengen peluk keanu erat2....
0 comments on "Because One Day Mommy, I Won’t Be This Small"
Post a Comment